Penomena penggunaan fasilitas privat jet yang diduga gratifikasi oleh anak presiden Joko Widodo, Kaesang pangarep bersama istri saat pelesiran ke Amerika Serikat sebuah anomali.
Kaesang Pangarep dan Erina Gudono justru flexing alias memamerkan gaya hidup hedonis dengan menggunggah poto jendela yang diduga diambil dari dalam pesawat pribadi tersebut disaat masyarakat berjuang dan berteriak tentang demokrasi yang dikoptasi para elit politik.
Gaya hidup hedon yg dipamerkan anak dan menantu Presiden tersebut memantik reaksi, cibiran,kegeraman dan kemarahan masyarakat hingga berujung pada pelaporan dugaan penerimaan gratifikasi fasilitas privat jet Gulfstream G650ER ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Ubedilah Badrun seorang akademisi dari Universitas Negeri Jakarta yang juga mantan aktivis mahasiswa 98.
Disaat masyarakat berharap dan mendesak KPK untuk mengusut dugaan gratifikasi tersebut.
KPK merespon melalui juru bicara Tessa Mahardhika Sugiarto sebagaimana diberitakan Media mengatakan, Kaesang tidak wajib melaporkan dugaan gratifikasi karena putra bungsu Presiden Joko Widodo ini bukan penyelenggara negara.
Keluarga penyelenggara negara yang memperoleh fasilitas atau pemberian dari pihak lain tidak punya kewajiban melaporkan kelembaga anti rasuah.
KPK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa apakah itu gratifikasi yang menyentuh conflict of interest atau tidak. Karena yang bersangkutan bukan merupakan pegawai negeri ataupun penyelenggara Negara,kata juru bicara KPK kepada Media.
Pernyataan juru bicara KPK tersebut menjadi sebuah ironi dimana KPK terlihat gamang dan mengambil posisi aman dan menghindar untuk menyentuh pusat kekuasaan sebab Kaesang Pangarep adalah anak seorang Presiden.
Sepertinya KPK mencoba berkelit dan mensiasatinya dengan menganut mazhab disparitas penegakan hukum sebagai standard ganda dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ditengah maraknya keluarga pejabat yang flexing dimedia sosial.
Jika merujuk kebelakaang ada beberapa kasus yang mirip dengan kasus flexing Kaesang Pangarep dan istrinya yang diusut KPK atas dugaan penerimaan gratifikasi yang bermula dari unggahan pamer kemewahan oleh keluarga pejabat dimedia sosial yang berujung Vonis penjara.
Kasus hukum yang menimpa Andhi Pramono kepala Bea Cukai Makaasar yang berujung penjara dengan vonis 10 tahun di Pengadilan Tindak Pidana korupsi Jakarta pada Pengadilana Negeri Jakarta Pusat dan vonis tersebut diperberat menjadi 12 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kasus ini bermula dari postingan keluarganya yang pamer kemewahan atau flexing oleh anak dan istri di media sosial pribadi.
Postingan tersebut memicu reaksi publik dan KPK bergerak mengusut dugaan gratifikasi hingga Andhi Pramono ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK hingga di vonis 12 tahun penjara.
Kasus yang sama menimpa Rapael Alun Trisambodo mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II bermula dari kasus penganiayaan yang dilakukan anakanya yang bernama Mario Dandy terhadap seorang remaja hingga Rapael Alun Trisambodo jadi tersangka oleh KPK.
Kasus penganiayaan itu manjadi rame karena sebelumnya Mario Dandy sering pamer gaya hidup mewah dengan motor gede Harley Davidson dan jeep Rubicon di media sosial.
Warganet yang geram mencoba menguliti harta kekayaan bapaknyaโท yang merupakan pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
Akhirnya KPK melakukan pemeriksaan terhadap Rafael Alun Trisambodo dan menetapkannya sebagai tersangka dan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di vonis 14 tahun penjara karena terbukti menerima gratifikasi.
Apakah pimpinan KPK tidak melihat bahwa ada ketidak wajaran atas penggunaan privat jet tersebut oleh anak dan menantu Presiden sehingga tidak perlu dilakukan pengusutan.
Atau KPK menilai bahwa itu suatu yang wajar dan lumrah sebab Kaesang Pangarep adalah pengusaha sukses dan kaya raya yang memiliki sumber dana yang sah untuk menyewa privat jet.
Pernyataan KPK melalui juru bicaranya yang mengatakan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa apakah itu gratifikasi yang menyentuh conflict of interest atau tidak. Karena yang bersankutan bukan merupakan pegawai negeri ataupun penyelenggara Negara.
Pernyataan juru bicara KPK tersebut mengkonfirmasi bahwa KPK telah kehilangan akal sehat dalam memaknai gratifikasi dilingkaran penyelenggara Negara
Satu kata buat pimpinan KPK “Quo Vadis KPK“.
Henry Hutapea
Direkrur Eksekutif Corruption Watch Barometer